Mahasiswa Indonesia asal Maros yang saat ini menempuh pendidikan magisternya di negeri Belanda, Musawwir Muhtar berbagi cerita tentang suasana bulan ramadan di tempatnya menuntut ilmu. Musawwir pun mengaku sangat rindu keluarga dan kampung halamannya, di dusun Rammang-Rammang, desa Salenrang, Kecamatan Bontoa.
Musawwir bersama rekan-rekan mahasiswa asal Indonesia saat santap sahur bersama (dok. ist)
Kepada BSFM, Musawwir yang juga kontestan Kompetisi tingkat dunia Gist Tech-I Competition 2016 bercerita tentang kondisi berbuka puasa di Belanda sekaligus makan sahur dalam satu waktu.
Menurutnya, Bagi masyarakat Indonesia mungkin hal ini tidaklah lazim, tetapi itulah yang dilakukan oleh masyarakat muslim yang bermukim di belahan bumi lain di mana matahari hanya terbenam setelah 20 jam. Di bebeapa Negara yang masuk dalam arctic circle seperti Islandia, Finlandia, dan Norwegia, bahkan memiliki waktu bepuasa lebih lama dari Negara-negara eropa lainnya. Di Tromso misalnya, waktu fajar dimulai pukul 01.25 pagi dan matahari baru terbenam setelah pukul 12 malam. Sehingga masyarakat muslim hanya memiliki waktu kurang dari satu jam untuk mempersiapkan hidangan buka puasa dan sahur. Berbeda dengan negara-negara di Eropa tengah seperti Belanda tempat bermukimnya sekarang ini yang waktu puasanya 19 sampai 20 jam. Walau demikian, tidak jarang ia berbuka puasa sekaligus sahur dalam satu waktu.
Terlepas dari waktu menahan 5-6 jam lebih lama dibandingkan negara yang terletak di garis khatulistiwa, seperti Indonesia dan negara-negara di Asia Tenggara. Berpuasa di negara yang menganut paham liberal atau yang sering kita dengar dengan istilah liberalisme tentunya tidaklah mudah. Liberalisme adalah paham yang mengharapkan kemajuan dalam tatanan kemasyarakatan atas dasar kebebasan individu. Sebagai seorang mahasiswa magister di negeri kincir angin yang juga menganut paham liberal, menurutnya menjalankan ibadah puasa menjadi tantangan tersendiri.
Di kampus atau di tempat-tempat umum perempuan hanya mengenakan singlet atau kaos oblong tanpa lengan yang dipadukan dengan short skinny jeans. Bagi kaum adam, menurutnya ini adalah cobaan yang mungkin lebih berat dari sekedar menahan lapar dan dahaga. Apalagi Belanda sendiri dikenal sebagai surga bagi para pecandu maryuana. Maryuana adalah salah satu jenis narkotika yang banyak tersedia di kafe-kafe. Jika tidak memiliki iman yang kuat, tentunya ini adalah sebuah malapetaka yang bukan hanya menodai kesucian bulan Ramadan tetapi juga dapat menjerumuskan masyarakat muslim ke dalam kubangan dosa.
Musawwir lebih lanjut menceritakan, menjalani bulan puasa di Belanda hampir tak ada bedanya dengan bulan-bulan yang lain. Tidak ada suara adzan, tidak ada ritual keliling RT atau komplek hanya sekedar membangunkan warga untuk sahur, tidak ada ta’jil dan buka puasa bersama di masjid, apalagi jalan-jalan di pagi hari setelah menunaikan sholat subuh yang sudah menjadi ritual oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Mall atau pusat-pusat perbelanjaan pun sama saja, tak ada peningkatan pengunjung, apalagi potongan harga. Hal ini sangat bertolak belakang dengan suasana bulan Ramadan di Indonesia yang biasanya dijadikan momentum untuk berkumpul bersama keluarga, sahabat, dan teman-teman.
Beruntunglah, di Belanda ada Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI), Kerukunan Keluarga Sulawesi-Selatan (KKSS) Eropa, dan organisasi yang sedang mahasiswa inisiasi adalah Ikatan Alumni Unhas Netherlands. Setidaknya dengan adanya organisasi ini, bisa sedikit mengobati rasa rindu dengan Indonesia terutama Makassar. Walau tinggal berbeda kota, tetapi sangat aktif di group whatsapp dan berbagai social media platform. Mulai dari saling membangunkan untuk sahur, mengirim ucapan menjelang berbuka puasa atau sekedar ngalur-ngidul membahas masakan khas Makassar atau membicarakan isu terhangat yang sedang terjadi di Indonesia. Karena kesibukan masing-masing, mereka pun hanya sempat mengadakan buka puasa dan sahur bersama satu kali selama ramadan ini.
Hal yang paling dirindukan Musawwir dari Ramadan di Indonesia adalah momen buka puasa dan sahur dengan keluarga dan teman-teman, sholat taraweh berjamaah, kegiatan kuliner setelah sholat taraweh dan yang pasti adalah jajanan kue tradisional serta makanan khas Makassar. Menjalani bulan yang penuh berkah nan magfirah di negeri sendiri memang lebih hikmat, maka bersyukurlah bagi mereka yang masih bisa merasakan momentum Ramadan bersama keluagra, teman-teman, serta sanak saudara.
Bagi yang sedang jauh di tanah rantau seperti Musawwir, hidup seluruhnya adalah tentang kepulangan, bukan? Mereka hidup dan berusaha untuk mencari jalan pulang ke rumah masing-masing. Tentu mereka pun sudah paham bahwa jaraklah yang menebalkan rindu, menempa cinta, dan membuat manusia jadi dewasa dan bijaksana.
Musawwir berharap Semoga dipenghujung bulan yang suci ini, kita semua mendapatkan keberkahan, ampunan, serta derajat taqwa sebagaimana yang telah dijanjikan Allah. Semoga yang sedang susah diberikan kemudahan, yang belum mempunyai baju lebaran segera mendapatkan tunjangan hari raya, dan yang sedang masa penantian segera bertemu jodohnya. Ah, apalagi yang lebih indah dari saling mendoakan. Mohon maaf lahir dan batin, dari Negeri Van Orange. (bsfm news department)
Berita Terkait :
- PROFIL INSPIRATIF : MUSAWWIR MUHTAR, POTRET PEMUDA MAROS DENGAN SEGUDANG PRESTASI NASIONAL DAN INTERNASIONAL
- ANAK PETANI DI MAROS RAIH BEASISWA S2 KE BELANDA
- OLAH DAUN KELOR JADI BISKUIT, PEMUDA MAROS INI BERPELUANG KETEMU OBAMA DAN DIBANTU INVESTOR KELAS DUNIA
- WARGA MAROS ANTUSIAS DUKUNG MUSAWWIR MUHTAR DI GIST TECH-I COMPETITION
Monday, 4 July 2016
CERITA RAMADAN DARI NEGERI BELANDA : MUSAWWIR RINDUKAN KELUARGA DAN KAMPUNG HALAMANNYA
Posted by Maros FM on 7:54 pm in Inspirasi News Pendidikan | Comments : 0
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)


Post a Comment